menu

Selasa, 27 Desember 2016

Catatan Pengangguran Terdidik

Pengangguran Terdidik??
By: Khoiruzadi

LULUS kuliah dan menjadi sarjana ternyata bukan jaminan bisa langsung memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Bahkan lulusan jurusan favorit pun tak luput dari yang namanya kesulitan dalam memperoleh pekerjaan, hal itu juga tidak selalu menjadi tiket yang mujarab untuk lolos dari status penganggur terdidik.
Di media massa, setiap hari memang selalu muncul iklan lowongan kerja yang menawarkan kesempatan berkarir bagi pencari kerja, terutama para sarjana dengan kualifikasi kompetensi tertentu. Tetapi, ironisnya, dari berbagai persyaratan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, umumnya tidak banyak yang bisa dipenuhi para pencari kerja. Karena itu, yang terjadi kemudian tetap saja daftar jumlah pencari kerja terus bertambah. Lowongan kerja yang senantiasa mensyaratkan penguasaan bahasa asing (terutama bahasa Inggris), indeks prestasi lulusan minimal 3, dan lain-lain sering menjadi kendala tersendiri yang memperkecil peluang para pencari kerja terdidik untuk dapat terserap dalam dunia pekerjaan.
Data BPS 2015 melaporkan, dari 7,56 juta penganggur di Indonesia sampai Agustus 2015, ternyata paling banyak didominasi oleh sekolah menengah kejuruan, kemudian disusul sekolah menengah atas (SMA), kemudian lulusan diploma dan sarjana.. Badan Pusat Statistik (BPS) menguraikan, jumlah lulusan diploma dan sarjana yang menganggur masing-masing 7, 54 persen dan 6,40 persen. Secara keseluruhan, di Indonesia jumlah penganggur pada Agustus 2015 mencapai 7,56 juta orang atau 6,84 persen dari total angkatan kerja.
Terlepas apa pun faktor penyebabnya, fenomena sarjana yang menganggur dan banyaknya penganggur usia muda yang produktif adalah salah satu isu di bidang ketenagakerjaan yang membutuhkan perhatian ekstra. Sebab, mereka hanya menambah panjang daftar jumlah penganggur yang sudah berjubel sebelumnya. Seperti diketahui, ketika kondisi sektor riil masih lesu dan investasi yang masuk belum terlalu menggembirakan, bahkan sebagian industri yang sudah ada di tanah air dilaporkan telah hengkang ke Vietnam dan Tiongkok, salah satu ancaman serius yang dihadapi pemerintah adalah kemungkinan timbulnya ledakan penganggur terdidik.
Di atas kertas, kesempatan kerja bagi lulusan perguruan tinggi secara teoretis seharusnya cenderung lebih terbuka. Dengan begitu, tingkat penganggur dari kelompok tersebut cenderung lebih kecil daripada kelompok yang berpendidikan lebih rendah. Namun, kesempatan kerja itu akan menyempit seiring dengan meningkatnya jumlah lulusan dari tingkat pendidikan yang lebih tinggi (Keyfitz, 1986).
Fakta di lapangan sering memperlihatkan bahwa proporsi terbesar dari para penganggur adalah mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Kritik yang sering dilontarkan adalah lembaga pendidikan di Indonesia dinilai tidak dapat mencetak lulusan yang siap pakai, ada ketidaksesuaian (mismatch) antara output pendidikan dan tuntutan perkembangan ekonomi, serta kualitas lulusan tidak cocok dengan kebutuhan dunia usaha. Pendidikan yang lebih tinggi kebanyakan menyebabkan anak muda justru menolak untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dengan sistem manual, termasuk pekerjaan di sektor pertanian yang dinilai kurang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Kalangan terdidik, khususnya lulusan PT, cenderung mencari pekerjaan di sektor jasa. Padahal, pertumbuhan kesempatan kerja di sektor jasa tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja terdidik.
Di berbagai daerah, khususnya perkotaan, ditemui banyak pemuda yang memilih menganggur daripada melakukan pekerjaan yang dianggap tidak sesuai dengan tingkat pendidikan dan gaji yang diterima juga dinilai terlalu rendah. Gejala itu terutama terlihat pada kalangan lulusan PT yang secara ekonomi mapan dan belum berkeluarga. Mereka biasanya lebih memilih sementara waktu menganggur karena keluarganya mampu mencukupi kebutuhannya sampai menemukan pekerjaan yang dianggap sesuai dengan tingkat pendidikannya.
Studi yang dilakukan penulis (2015) terhadap 50 sarjana yang menganggur menemukan, karena kualifikasi keahlian yang dimiliki dan kebutuhan pasar tenaga kerja acap mismatch, jumlah sarjana penganggur pun dari waktu ke waktu terus bertambah. Bahkan, tidak sedikit sarjana yang termasuk dalam kelompok penganggur yang disebut discourage unemployment (penganggur putus asa), yakni penganggur sudah bertahun-tahun mencari kerja tapi tanpa hasil karena faktor demand for labor dan supply for labor yang makin tidak seimbang.
Sebuah keluarga yang sudah habis-habisan membiayai kuliah anaknya sampai lulus terpaksa menjual sebagian lahannya dan tak jarang pula utang ke sana-kemari untuk biaya kuliah anaknya. Ternyata, anaknya yang sudah lulus dan menjadi sarjana itu tak kunjung memperoleh kerja. Sangatlah wajar jika sarjana yang menganggur seperti itu menjadi frustrasi, putus asa, dan lantas menjadi penganggur abadi.
Di luar arti penting komitmen politis dan dukungan dana untuk membiayai pelaksanaan program penanganan penganggur terdidik, salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam upaya penanganan penganggur terdidik adalah persoalan substansi program yang digulirkan dan strategi yang seharusnya dikembangkan untuk menjamin efektivitas pelaksanaan program itu.
Secara garis besar, arah kebijakan dan upaya penanggulangan masalah penganggur terdidik seyogianya mencakup empat hal pokok.
Pertama, bagaimana mendorong pengembangan dan pertumbuhan kesempatan kerja baru bagi para pencari kerja atau penganggur terdidik, baik lewat program-program pemerintah maupun multiplier effect dari kegiatan investasi swasta.
Kedua, bagaimana meningkatkan kualitas dan posisi tawar para pencari kerja, termasuk penganggur terdidik yang berminat mencari kerja di luar negeri agar mereka dapat lebih berdaya serta sesuai dengan kebutuhan pasar kerja yang ada.
Ketiga, bagaimana membantu dan memfasilitasi pengembangan usaha mandiri para penganggur terdidik, terutama di sektor UMKM.

Keempat, lebih dari sekadar program pelatihan untuk meningkatkan kualitas dan kadar keberdayaan SDM pencari kerja yang terdidik, yang dibutuhkan adalah substansi program pelatihan yang benar-benar dapat dijadikan modal sosial untuk menyiasati dan mencuri celah pasar yang sangat kompetitif. Diakui atau tidak, selama ini berbagai kegiatan pelatihan yang dikembangkan BLK maupun lembaga kursus swasta alam masih belum mampu menjawab tantangan dan kebutuhan pasar kerja yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar